DE AMIGO

Kabut tak membawa banyak cerita. Tapi langit kelabu tak akan pernah jadi jingga. 26 Januari 2001 23:15 Aku baru saja merebahkan tub...

Kabut tak membawa banyak cerita. Tapi langit kelabu tak akan pernah jadi jingga.



26 Januari 2001 23:15
Aku baru saja merebahkan tubuh ke ranjang usai menghadiri pesta ulangtahun temanku sebelum akhirnya suara pintu kamar terketuk dan aku tahu siapa pelakunya. Aku beranjak untuk membuka pintu dan benar saja, mama sudah berdiri di depan pintu.

"Mala, tadi Moses telepon ke rumah cari kamu. Sudah tahu ?"
 "Moses ? Telepon ?"
"Iya. dia sampai telpon kamu 3 kali"
"Mala kerumah Moses ya ma ?"
"Hati-hati ya. Pake mobil mama aja. Sudah malem. Perlu mama anter ?"
"Mala sendiri aja ma. Makasih ma. Love you"
"Love you more. Hati-hati"
 Aku kenal Moses lebih dari siapapun. Dia sahabatku sejak SD waktu kita masih jadi tetangga dulu sebelum akhirnya ia pindah rumah. Aku tidak perlu berpikir dua kali untuk kerumahnya selarut ini. Karena sejak pertama kali aku berteman dengannya 10 tahun silam, dia tidak pernah meneleponku. Kecuali ya, penting. Dan aku yakin kali ini memang penting.



26 Januari 2001 23:59
Disinilah aku sekarang.
Di dalam kamar Moses dengan menggenggam segelas mochiato yang aku beli di sebuah kedai kopi dalam perjalanan menuju rumahnya. Raut wajah Moses datar. Frappio latte faforitnya bahkan belum disentuh sama sekali. Bagaimana bisa anak seaktif dan seceria Moses tiba-tiba diam mematung seperti ini. Aku tidak berani memulai pembicaraan. Sebagai sahabat yang sudah cukup tahu luar dan dalam, aku memilih untuk diam dan menunggunya membuka pembicaraan.



27 Januari 00:01
Jam dinding di kamarnya mulai berdenting tanda bergantinya hari. Sudah hampir setengah jam aku disini tapi Moses masih memilih diam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku jarang bertemu Moses akhir-akhir ini pasca perceraian kedua orangtuanya. Selain itu kegiatan kampus akhir-akhir ini sering membuat Moses balik kucing saat hendak menemuiku di rumah. Aku tahu aku bukan sahabat yang baik karena harusnya di saat-saat itulah Moses butuh aku. Sejak itu yang aku dengar tentang Moses hanyalah cerita-cerita dari teman-teman SMA yang sekampus denganku. Tentang perceraian orangtuanya, tentang Moses yang memilih drop out kuliah, tentang ayahnya yang ditangkap polisi dan beberapa kabar lain yang boleh dibilang hampir semuanya negatif. 

Gelas mochiatoku sudah habis dan Moses masih diam mematung.



27 Januari 01:12

"Kamu mau diam sampai kapan ?!"
nadaku agak sedikit tinggi. Kesabaranku sudah habis. Aku sudah duduk ditempat yang sama hampir dua jam dan dia masih diam. Awalnya aku kira ucapanku akan memantik emosinya, tapi dia hanya menjawab sekenanya.

"Kamu boleh pergi kalo kamu bosan"

Aku menarik nafas panjang. Sabar Mal, sabar.

"Maaf Mos, bukan gitu. Aku kesini karena aku tahu ada yang gak beres sama kamu. Kamu bisa cerita. Apapun. Kita sudah sahabatan 10 tahun dan kamu bisa berbagi semua rasa yang kamu rasain sama aku. Kita tanggung bareng-bareng. Sedih seneng susah, semuanya."

"Gak ada yang perlu diceritain Mal. Aku baik-baik aja"

"Jangan bohong. Aku sudah kenal kamu luar dalem dan Moses yang biasa bikin aku ketawa tiba-tiba matung gini terus bilang kamu baik-baik aja ?"

"Aku cuma ingin semua ini diakhiri, Mala. Aku capek."

Moses, sahabatku yang ceria dan cenderung hiperaktif itu meneteskan air matanya. Ini adalah air mata pertama yang kulihat semenjak aku jadi sahabatnya. Melihatnya menangis, aku sadar bahwa beban yang tengah dipikulnya bukan main-main. Aku peluk dia erat. Hanya dengan pelukan itu aku berharap bahwa ia tahu aku disampingnya. Dengan pelukan itu aku berharap dia sadar bahwa dia tidak sendirian. Dan dengan pelukan itu aku yakin dia akan sedikit lebih tenang.Aku tidak tega melihat Moses menderita. 

Tanpa kuduga Moses mengusap pipiku seraya berbicara dengan nada terbata-bata "Makasih, Mala. Makasih banyak"

Air mataku dan Moses melebur jadi satu. Kami membiarkan air mata turun menghujani pipi kami yang kering. Biar air mata ini hanyut bersama penderitaan Moses. 



27 Januari 2001 02:26
Setelah aku yakin Moses baik-baik saja, aku pamit pulang. Air mata masih terlihat di pipinya tapi raut mukanya menggambarkan bahwa ia baik-baik saja. Aku mencium keningnya sebelum pulang dan aku lega karena aku telah menunaikan tugasku sebagai seorang sahabat.


27 Januari 11:00
Sudah pukul sebelas siang dan aku baru saja terbangun dari tidur. Ketika kubuka mata, mama sudah ada disampingku dengan air mata yang berlinang. Tanpa menunggu aku sadar sepenuhnya, mama langsung memelukku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Nada suaranya sudah tidak terkontrol. 

"Moses bunuh diri Mala. Moses, Mala. Moses..."

Isakan mama semakin kencang. Kupeluk mama lebih erat karena aku tahu mama pasti sangat kehilangan. Moses sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Moses bebas masuk ke rumah ini kapan saja yang dia mau, keluarga kami berdua juga cukup dekat, bahkan kami menjadi tetangga sejak SD hingga lulus SMA. Wajar jika mama merasa kehilangan. Aku bahkan tidak memiliki waktu untuk menangisi Moses karena mama terlalu histeris dan aku tidak mau menunjukkan kesedihanku pada mama. Selang beberapa waktu, mama memilih untuk mengusap air matanya dan keluar kamar.

"Sebentar lagi kita melayat. Kamu cepetan mandi ya, sayang"

aku berusaha tegar dan menjawab "Iya, ma."

Tepat ketika pintu kamar tertutup, aku membuka tas ranselku dan mengambil sebilah pisau yang masih berlumur darah. Kulapisi pisau itu dengan kain putih dan kusimpan tepat di bawah ranjang tempat tidurku.

"Aku sudah menyelesaikan tugasku sebagai sahabat,Moses."
-fin-


You Might Also Like

1 comments

Flickr Images