#MENULISDUET
GOODBYE / CHAPTER 2 : ENAM BELAS KATA
11:14
TEKS INI LANJUTAN DARI GOODBYE CHAPTER SATU (1)
UNTUK BACA , KLIK DISINI : http://achicatlantis.wordpress.com/2013/08/14/goodbye-1-ksatria-es/
Kana mempercepat langkahnya.
Segerumbulan manusia yang berlalu lalang tak di indahkannya. Sepotong kalimat
ksatria es yang baru saja menggerogoti telinganya berhasil membuat langkah
kakinya menyaingi langkah kaki captain tsubasa, tokoh anime faforitnya. Di
pandangannya, koridor demi koridor berhasil dilewatinya dengan mudah. Sedetik
kemudin ia sadar, ada yang mengganjal di hatinya. Ada dentuman keras yang
berusaha loncat dari kedua dadanya yang berpacu seiring derap langkah kakinya.
Di ujung persimpangan koridor, sesuatu yang diembannya lepas sudah. Buliran air
mata jatuh. Hati Kana rapuh. Rapuh seiring mengalirnya tetes air ke hamparan
pipinya yang mulai lebam.
Ia masih berdiri di situ.
Membayangkan idola yang selama ini hadir menghiasi mimpinya bertranformasi
menjadi sosok yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Wajah romannya mendadak
berubah ganas bak tokoh antagonis dalam sebuah pewayangan. Sisi sanubari dari
Arou yang selama ini ia kagumi tergradasi oleh sifat dinginnya yang tak
terkendali. Suara dedaunan di belakang sana menari-nari. Mengisyaratkan Kana
untuk segera kembali menuntaskan apa yang seharusnya ia tuntaskan. Langkah kaki
Kana kembali terayun. Dengan tempo yang berbeda tentunya.
**
Nami hanya bisa mengernyitkan
dahi tatkala dilihatnya rimbunan awan hitam yang melingkari tubuh sahabatnya,
Kana. Gadis belia yang dikenalnya beberapa tahun lalu itu tampak berbeda. Tanpa basa-basi ia sudah menyadari. Ada yang
hilang dari sosok Kana. Cita, dan cinta.
Belum sempat puas akan segala
tanda Tanya di benaknya, Kana membuka mulut terlebih dahulu. Garis wajahnya tak
dapat menutupi segala kebohongannya. Pipinya yang biasa merah merona tampak
lebam. Tertutup sapuan bekas air mata tangisan. Derai bulir-bulir kacanya masih
nampak. Seakan menggambarkan kepada siapapun bahwa itu adalah diorama sosok
Arou yang melekat pada tubuhnya. Mulutnya terbuka. Perlahan. Tapi tak kunjung
muncul suara. Hanya terdengar desahan.
“Di.. Di..dia…. Sudah mengucapkan
enam kata. Kepada saya”
Air matanya kembali bergulir.
Wajahnya nampak sumringah. Nami tak menyangka, bahwa ternyata cita dan cita
seorang Kana tak akan pernah memudar.
Kali ini justru malah menguadratkan diri menjadi kegilaan yang tak bisa
dipungkiri. Nami hanya bisa tertegun dengan senyuman diujung mulutnya melihat
tingkah sahabatnya yang satu ini. Ya, Kana benar. Enam kata merupakan sebuah
kemajuan. Dari hanya diabaikan, lalu berhenti di persimpangan jalan, lalu
menoleh dan sekarang Arou sudah melontarkan enam katanya untuk Kana. Nami juga
belum pasti enam kata apa gerangan yang berhasil membuat sahabatnya kegirangan
bak kesurupan hantu pedofilia ? Tapi yang jelas kegembiraan yang tersulut dari
paras Kana cukup membuatnya bahagia.
***
Kana membuka matanya lebar-lebar.
Rasa sakit yang ia alami masih belum bisa memudar. Sakitnya mendobel. Tidak
hanya mendengar dumelan seorang pangeran Arou yang bersahaja itu. Tapi juga
mendustai Nami, sahabatnya dengan sekumpulan ide konyol yang sama sekali tidak
masuk akal. Kana tahu Nami akan menghentikan semua tingkah bodohnya jika ia tahu
bahwa sosok yang selama ini dipuji Kana itu ternyata menyakiti hati sahabatnya.
Jadi, Kana lebih baik memilih diam dan menenangkan pikiran Nami dengan
mengelabuinya.
Sejurus kemudian, pintu ruang
kelasnya membuka. Astaga, sosok ksatria es situ muncul lagi. Dengan setelan
seragam putih abu-abu dengan atasan yang dibiarkan menyembul keluar dari
sabuknya membuat cowok itu tampak lebih keren beberapa derajat dibandingkan
saat ia melihatnya jutek di lapangan pada jam istirahat tadi.
“ Kok, elo lagi ?” berondong Arou seraya mengernyitkan dahi.
Satu, dua, tiga.
“Ini kelas gue ! Elo sendiri
ngapain disini ?” Timpal Kana tak kalah judes.
“Gue mau cari Annabelle”
Empat, Lima, Enam, Tujuh.
“Ada urusan apa elo sama
Annabelle ?”
“Eh kepo, Masalah buat elo ?”
Delapan, Sembilan, Sepuluh,
Sebelas, Duabelas.
“Dia gakmasuk. Tapi rumahnya
deket rumah gue. Ada apa ?”
“Yaudah bagus. Titip Ini” Katanya seraya menyodorkan selembar amplop
berwarna merah hati.
Tigabelas, Empatbelas, Limabelas,
Enambelas.
Ketika Kana menyentuh ujung surat
itu, ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Arou dan Annabelle. Ada
hubungan apa mereka ? Namun sebelum pertanyaan lain mencuat dari benak Kana, ia
melihat sosok Arou mulai menjauh dari tubuhnya. Sejurus kemudian, Kana
berteriak.
“Sebentar !!”
Sosok yang dipanggilnya menoleh.
Tanpa suara. Hanya tatapan datar tanpa makna.
“Selama ini elo selalu menghindar
dari gue. Kenalin, Kana” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
Jemarinya yang lentik dibiarkan
menggantung oleh Arou. Pangeran es itu melangkah bak manusia tanpa dosa.
Meninggalkan sepotong tangan bergelantungan yang penuh pengharapan. Kana
menghirup nafasnya dalam-dalam. Terasa sesak. Dan semakin lengkap sesaknya
ketika tangan lain miliknya memegang sebuah surat merah hati untuk Annabelle.
Hatinya menggantung. Pedih. Perih. Tapi adrenaline nya untuk mendapatkan hati
seorang Arou tak berhenti sampai disini.
-dims-
2 comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKurang GREGET he~~~~~~
ReplyDelete@Afiaudin